Peraturan Menteri Tentang Pajak UKM



PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 107/PMK.011/2013

TENTANG

TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK
PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERlMA ATAU
DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 46 TAHUN 2013 tentang Pajak PenghasiIan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
2. Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 32631 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 TAHUN 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 94 TAHUN 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 161, Tarobahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 46 TAHUN 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dan Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5424);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASlLAN DARI USAHA YANG DlTERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKl PEREDARAN BRUTO TERTENTU.

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 TAHUN 2008.
2. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

Pasal 2
(1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan
b. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(3) Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
c. olahragawan;
d. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e. pengarang, peneliti, dan penerjemah:
f. agen iklan:
g. pengawas atau pengelola proyek;
h. perantara;
i. petugas penjaja barang dagangan;
j. agen asuransi; dan
k. distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
(4) Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a. menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
b. menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
(5) Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Pasal 3
(1) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.
(2) Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari:
a. jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3);
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
c. usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
d. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.
(3) Dalam hal peredaran bruto dari usaha pada Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan yang disetahunkan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar pada tahun pajak 2013 sebelum Peraturan Menteri ini berlaku pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalamt Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini yang disetahunkan.
(5) Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar sejak berlakunya Peraturan Menteri ini, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan.

Pasal 4
(1) Besarnya tarif Pajak Penghasilah yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah 1%(satu persen).
(2) Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap tempat kegiatan usaha.
(3) Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 5
(1) Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp4.800.000,000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Perighasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan.
(2) Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan,

Pasal 6
(1) Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) yang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya wajib dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final, dapat dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain.
(2) Pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui Surat Keterangan Bebas.
(3) Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atas nama Direktur Jenderal Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak.

Pasal 7
(1) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial, .
(1) Dalam hal jangka waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melewati Tahun Pajak yang bersangkutan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai dengan akhir Tahun Pajak berikutnya.

Pasal 8
(1) Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Ketentuan kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
b. Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimakaud pada huruf a;
c. kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya,

Pasal 9
(1) Wajib Pajak yang hanya menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), tidak diwajibkan melakukan pembayaran angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak selain menerima atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) juga menerima
atau memperoleh penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan, atas penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum tersebut wajib dibayar angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(3) Besarnya angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) pada Tahun Pajak pertama Wajib Pajak tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), diatur ketentuan sebagai berikut:
a. bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7) huruf b dan huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, besaran angsuran pajak adalah sesuai dengan besarnya angsuran pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak tersebut
b. bagi Wajib Pajak selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a, penghitungan besarnya angsuran pajak diberlakukan seperti Wajib Pajak baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (7) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(4) Untuk Wajib Paiak orang pribadi, jumlah penghasilan neto yang disetahunkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
(5) Angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan pajak yang telah dipotong dan/atau dipungut pihak lain boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.

Pasal 10
(1) Wajib Pajak wajib menyetor Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) ke kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak, yang telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(2) Wajib Pajak yang melakukan pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir,
(3) Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan tanggal validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang tercantum pada Surat Setoran Pajak.

Pasal 11
Wajib Pajak yang atas seluruh atau sebagian penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan adalah sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 TAHUN 2009, dan peraturan pelaksanaannya beserta perubahannya.

Pasal 12
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri.
(2) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Bentuk Usaha Tetap, Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dan ayat (5), serta penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) dan penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri, dikenai Pajak penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Pasal 13
Tata cara penghitungan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Iampiran Peraturan Menteri ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. bentuk Surat Setoran Pajak atau sararia administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 10 ayat (1);
b. bentuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; dan
c. tata cara pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak,

Pasal 15
(1) Kerugian pada bulan Januari 2013 sampai dengan Juni 2013 dapat dilakukan kompensasi dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final pada Tahun Pajak berikutnya.
(2) Wajib Pajak yang melakukan kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melampirkan laporan rugi laba bulan Januari 2013 sampai dengan Juni 2013 dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2013.

Pasal 16
(1) Ketentuan mengenai pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), diberlakukan sama dengan mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 46 TAHUN 2013.
(2) Ketentuan mengenai pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) diberlakukan mulai masa pajak Januari 2014.

Pasal 17
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juli 2013
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.


MUHAMAD CHATIB BASRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 984

Pajak UMKM



PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 2013
Tanggal 12 Juni 2013
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.     bahwa untuk memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang memiliki peredaran bruto tertentu, perlu memberikan perlakuan tersendiri ketentuan mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan yang terutang;
b.     bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf e dan Pasal 17 ayat (7) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;
Mengingat :
1.     Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.     Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
MEMUTUSKAN:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
1.     Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2.     Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Pasal 2
(1)
Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2)
Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a.     Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan
b.     Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(3)
Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:

a.     menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap; dan
b.     menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
(4)
Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)adalah:

a.     Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b.     Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Pasal 3
(1)
Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah 1% (satu persen).
(2)
Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.
(3)
Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan.
(4)
Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 4
(1)
Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan.
(2)
Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 5
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 6
Atas penghasilan selain dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 7
Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya.
Pasal 8
Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai berikut:
a.     kompensasi kerugian dilakukan mulai Tahun Pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) Tahun Pajak;
b.     Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c.     kerugian pada suatu Tahun Pajak dikenakannya Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dikompensasikan pada Tahun Pajak berikutnya.
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan kriteria beroperasi secara komersial diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 10
Hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur sebagai berikut:
1.     didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
2.     didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini di bulan sebelum Peraturan Permerintah ini berlaku;
3.     didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 11
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juni 2013
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal13 Juni 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd
AMIR SYAMSUDIN

ATURAN BARU TATA CARA PENOMORAN FAKTUR PAJAK



PENGUMUMAN
NOMOR PENG-04/PJ.09/2013
 Tanggal 28 Mei 2013
ATURAN BARU TATA CARA PENOMORAN FAKTUR PAJAK
Mulai 1 April 2013, pembuatan Faktur Pajak menggunakan Nomor Seri yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) :
Langkah Pertama
PKP mengajukan permohonan kode aktivasi dan password

1)
PKP datang ke KPP menyampaikan surat permohonan kode aktivasi dan password.
2)
Dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja, KPP akan menerbitkan kode aktivasi dan password.
3)
Setelah itu, KPP akan mengirim kode aktivasi ke alamat PKP melalui pos, dan mengirim password ke email PKP.
Hal-hal yang penting untuk diperhatikan :
-
Alamat pengiriman dan alamat email harus ditulis dengan jelas dan benar agar kode aktivasi dan password dapat diterima.
Langkah Kedua
PKP mengajukan permintaan Nomor Seri Faktur Pajak
1)
PKP datang ke KPP menyampaikan surat permintaan Nomor Seri Faktur Pajak.
Syarat : PKP harus telah melaporkan SPT Masa PPN 3 (tiga) Masa Pajak sebelumnya.
2)
PKP meng-entry kode aktivasi dan password secara mandiri.
3)
KPP langsung memberikan surat pemberitahuan yang berisi block number Nomor Seri Faktur Pajak ke PKP.
Hal yang perlu diperhatikan :
-
PKP hanya dapat membuat Faktur Pajak menggunakan Nomor Seri yang telah diberikan oleh DJP.
-
Apabila diperlukan, PKP dapat mengajukan lagi permintaan Nomor Seri Faktur Pajak ke KPP.
-
Dalam membuat Faktur Pajak, PKP harus menambahkan sendiri 3 (tiga) digit di depan Nomor Seri Faktur Pajak yang telah diberikan oleh DJP, sehingga menjadi sebagai berikut :

Langkah ketiga
PKP menyampaikan nama pejabat/pegawai yang berhak menandatangani Faktur Pajak
1)
PKP menyampaikan surat pemberitahuan nama dan contoh tanda tangan pejabat/pegawai yang berhak menandatangani Faktur Pajak, dilampiri dengan KTP/SIM/Paspor yang telah dilegalisasi pejabat yang berwenang.
2)
Surat pemberitahuan tersebut wajib disampaikan paling lama pada akhir bulan berikutnya sejak pejabat/pegawai tersebut mulai menandatangani Faktur Pajak.
Sumber: Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan dalam rangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-08/PJ/2013.


Jakarta, 28 Mei 2013
a.n. Direktur Jenderal Pajak
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Humas

ttd
Kismantoro Petrus
NIP 195404071983031001