TAX AMNESTY (AMNESTI PAJAK/PENGAMPUNAN PAJAK) DI INDONESIA TAHUN 2016

  PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 118/PMK.03/2016

TENTANG

             PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016
                          TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK

             DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

            MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 huruf a, huruf b, huruf d, dan huruf e Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak;

Mengingat :

1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5899);
2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

      MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG
PENGAMPUNAN PAJAK.


BAB I
  KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Pengampunan Pajak adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang
Pengampunan Pajak.
2. Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi
administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan
membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak.
3. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
4. Harta adalah akumulasi tambahan kemampuan ekonomis berupa seluruh kekayaan, baik berwujud
maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang digunakan untuk usaha
maupun bukan untuk usaha, yang berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
5. Utang adalah jumlah pokok utang yang belum dibayar yang berkaitan langsung dengan perolehan Harta.
6. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali jika Wajib Pajak menggunakan tahun
buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
7. Tunggakan Pajak adalah jumlah pokok pajak yang belum dilunasi berdasarkan Surat Tagihan Pajak
yang di dalamnya terdapat pokok pajak yang terutang, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding dan Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus
dibayar bertambah termasuk pajak yang seharusnya tidak dikembalikan, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
8. Uang Tebusan adalah sejumlah uang yang dibayarkan ke kas negara untuk mendapatkan Pengampunan
Pajak.
9. Tindak Pidana di Bidang Perpajakan adalah tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
10. Surat Pernyataan Harta untuk Pengampunan Pajak yang selanjutnya disebut Surat Pernyataan adalah
surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan Harta, Utang, nilai Harta Bersih, penghitungan
dan pembayaran Uang Tebusan.
11. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
12. Surat Keterangan Pengampunan Pajak yang selanjutnya disebut Surat Keterangan adalah surat yang
diterbitkan oleh Menteri sebagai bukti pemberian Pengampunan Pajak.
13. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Terakhir yang selanjutnya disebut SPT PPh Terakhir
adalah:
a. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2015 bagi Wajib Pajak
yang akhir tahun bukunya berakhir pada periode 1 Juli 2015 sampai dengan
31 Desember 2015; atau
b. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 bagi Wajib Pajak
yang akhir tahun bukunya berakhir pada periode 1 Januari 2015 sampai dengan 30 Juni 2015.
14. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan adalah Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan untuk
suatu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak.
15. Manajemen Data dan Informasi adalah sistem administrasi data dan informasi Wajib Pajak yang
berkaitan dengan Pengampunan Pajak yang dikelola oleh Menteri.
16. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Tempat Wajib Pajak Terdaftar yang selanjutnya disebut
Kanwil DJP Wajib Pajak Terdaftar adalah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan Pajak
Penghasilan badan atau Pajak Penghasilan orang pribadi.
17. Kantor Pelayanan Pajak Tempat Wajib Pajak Terdaftar yang selanjutnya disebut KPP Tempat Wajib
Pajak Terdaftar adalah Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan
Pajak Penghasilan badan atau Pajak Penghasilan orang pribadi.
18. Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri untuk menerima setoran penerimaan
negara dan berdasarkan Undang-Undang Pengampunan Pajak ditunjuk untuk menerima setoran Uang
Tebusan dan/atau dana yang dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam
rangka pelaksanaan Pengampunan Pajak.
19. Tahun Pajak Terakhir adalah Tahun Pajak yang berakhir pada jangka waktu 1 Januari 2015 sampai
dengan 31 Desember 2015.


BAB II
        SUBJEK DAN OBJEK PENGAMPUNAN PAJAK

Pasal 2

(1) Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak.
(2) Wajib Pajak yang berhak mendapatkan Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan Wajib Pajak yang mempunyai kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak Penghasilan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
Wajib Pajak harus mendaftarkan diri terlebih dahulu untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak
di Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib
Pajak.
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), yaitu Wajib Pajak yang sedang:
a. dilakukan penyidikan dan berkas penyidikannya telah dinyatakan lengkap oleh Kejaksaan;
b. dalam proses peradilan; atau
c. menjalani hukuman pidana,
atas Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.


Pasal 3

(1) Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) diberikan kepada Wajib Pajak
melalui pengungkapan Harta yang dimilikinya dalam Surat Pernyataan.
(2) Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengampunan atas kewajiban
perpajakan sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang belum atau belum sepenuhnya
diselesaikan oleh Wajib Pajak.
(3) Kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terdiri atas kewajiban:
a. Pajak Penghasilan; dan
b. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.


BAB III
SURAT PERNYATAAN

Pasal 4

(1) Untuk memperoleh Pengampunan Pajak, Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat ( 1) disampaikan kepada Menteri melalui KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar atau tempat tertentu.
(2) Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi mengenai
identitas Wajib Pajak, Harta, Utang, nilai Harta bersih, dan penghitungan Uang Tebusan, dan dibuat
dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A Peraturan Menteri ini.


Pasal 5

Informasi mengenai identitas Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2):
a. untuk Wajib Pajak orang pribadi, memuat:
1. nama;
2. alamat;
3. Nomor Pokok Wajib Pajak;
4. Nomor Induk Kependudukan;
5. nomor paspor, bagi yang memiliki; dan
6. nomor surat izin usaha, bagi yang diwajibkan memiliki sesuai peraturan perundang-undangan;
b. untuk Wajib Pajak badan, memuat:
1. nama;
2. alamat;
3. Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
4. nomor surat izin usaha.


Pasal 6

(1) Harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) meliputi:
a. Harta yang telah dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir; dan
b. Harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir.
(2) Harta yang telah dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai yang dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir.
(3) Harta tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan:
a. nilai nominal untuk Harta berupa kas; atau
b. nilai wajar untuk Harta selain kas pada akhir Tahun Pajak Terakhir.
(4) Dalam hal Wajib Pajak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan
penghitungan pajak pada tanggal akhir Tahun Pajak Terakhir sesuai dengan SPT PPh Terakhir.
(5) Dalam hal nilai Harta tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan satuan mata uang
selain Rupiah, nilai Harta tambahan ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan:
a. nilai nominal untuk Harta berupa kas; atau
b. nilai wajar pada akhir Tahun Pajak Terakhir untuk Harta selain kas,
dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak pada
akhir Tahun Pajak Terakhir.
(6) Nilai wajar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan ayat (5) huruf b merupakan nilai yang
menggambarkan kondisi dan keadaan dari aset yang sejenis atau setara berdasarkan perhitungan
Wajib Pajak.


Pasal 7

(1) Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) meliputi:
a. Utang yang telah dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir; dan
b. Utang yang belum dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir yang berkaitan secara langsung dengan
Harta tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b.
(2) Utang yang telah dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai yang dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir.
(3) Utang yang berkaitan secara langsung dengan Harta tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b ditentukan dalam mata uang Rupiah berdasarkan nilai yang dilaporkan dalam daftar Utang pada
akhir Tahun Pajak Terakhir.
(4) Dalam hal Wajib Pajak diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan PPh menggunakan
satuan mata uang selain Rupiah, nilai Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan dalam
mata uang Rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak
pada tanggal akhir Tahun Pajak Terakhir sesuai dengan SPT PPh Terakhir.
(5) Dalam hal nilai Utang yang berkaitan secara langsung dengan Harta tambahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, nilai Utang ditentukan dalam mata uang
Rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh Menteri untuk keperluan penghitungan pajak pada akhir
Tahun Pajak Terakhir.
(6) Utang yang berkaitan secara langsung dengan Harta tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b merupakan Utang yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum kebenaran dan
keberadaannya yang digunakan langsung untuk memperoleh Harta tambahan tersebut.


Pasal 8

(1) Nilai Harta bersih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dihitung berdasarkan nilai Harta
tambahan yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 6 ayat (5) dikurangi nilai Utang sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 ayat (3) dan Pasal 7 ayat (5).
(2) Untuk menghitung besarnya nilai Utang yang berkaitan secara langsung dengan perolehan Harta
tambahan yang dapat diperhitungkan sebagai pengurang nilai Harta sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. bagi Wajib Pajak badan, Utang yang dapat dikurangkan paling banyak sebesar 75% (tujuh
puluh lima persen) dari nilai setiap Harta tambahan yang berkaitan secara langsung; atau
b. bagi Wajib Pajak orang pribadi, Utang yang dapat dikurangkan paling banyak sebesar 50%
(lima puluh persen) dari nilai setiap Harta tambahan yang berkaitan secara langsung.
(3) Nilai Harta bersih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar pengenaan Uang Tebusan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak baru memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak setelah tahun 2015 dan belum
menyampaikan SPT PPh Terakhir, tambahan Harta bersih yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan
seluruhnya diperhitungkan sebagai dasar pengenaan Uang Tebusan.


Pasal 9

Penghitungan Uang Tebusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dilakukan dengan cara mengalikan
tarif Uang Tebusan dengan dasar pengenaan Uang Tebusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3)
atau Pasal 8 ayat (4).


Pasal 10

(1) Tarif Uang Tebusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 atas:
a. Harta yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; atau
b. Harta yang berada di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dialihkan
ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan diinvestasikan di dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu paling singkat 3 (tiga) tahun sejak
tanggal dialihkan,
adalah sebesar:
1. 2% (dua persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak Undang-Undang
Pengampunan Pajak berlaku sampai dengan tanggal 30 September 2016;
2. 3% (tiga persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal
1 Oktober 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan
3. 5% (lima persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal
1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
(2) Tarif Uang Tebusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 atas Harta yang berada di luar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak dialihkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah sebesar:
a. 4% (empat persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak
Undang-Undang Pengampunan Pajak berlaku sampai dengan tanggal 30 September 2016;
b. 6% (enam persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal
1 Oktober 2016 sampai dengan tanggal 31 Desember 2016; dan
c. 10% (sepuluh persen) untuk periode penyampaian Surat Pernyataan terhitung sejak tanggal
1 Januari 2017 sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
(3) Tarif Uang Tebusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 bagi Wajib Pajak yang peredaran usahanya
sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) adalah sebesar:
a. 0,5% (nol koma lima persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta sampai
dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan; atau
b. 2% (dua persen) bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan nilai Harta lebih dari
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dalam Surat Pernyataan,
untuk periode penyampaian Surat Pernyataan pada bulan pertama sejak Undang-Undang Pengampunan
Pajak mulai berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
(4) Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b adalah seluruh Harta Wajib Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1).


BAB IV
  WAJIB PAJAK DENGAN PEREDARAN USAHA TERTENTU

Pasal 11

(1) Wajib Pajak yang peredaran usahanya sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus
juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) merupakan Wajib Pajak yang:
a. memiliki peredaran usaha hanya bersumber dari penghasilan atas kegiatan usaha; dan
b. tidak menerima penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan/atau pekerjaan bebas.
(2) Pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pekerjaan yang dilakukan
oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan
yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja, antara lain dokter, notaris, akuntan, arsitek, atau
pengacara.


Pasal 12

Peredaran usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) ditentukan berdasarkan:
a. surat pernyataan mengenai besaran peredaran usaha yang berisi pencatatan peredaran usaha Wajib
Pajak mulai Januari sampai dengan Desember pada Tahun Pajak 2015, bagi Wajib Pajak yang belum
memiliki kewajiban melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; atau
b. SPT PPh Terakhir bagi Wajib Pajak yang telah memiliki kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan.


BAB V
         PERSYARATAN DAN TATA CARA PENYAMPAIAN
 SURAT PERNYATAAN

Pasal 13

(1) Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
b. membayar Uang Tebusan;
c. melunasi seluruh Tunggakan Pajak;
d. melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan bagi
Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan Tindak
Pidana di Bidang Perpajakan;
e. menyampaikan SPT PPh Terakhir bagi Wajib Pajak yang telah memiliki kewajiban
menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan
f. mencabut permohonan dan/atau pengajuan:
1. pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
2. pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dalam surat ketetapan pajak
dan/atau Surat Tagihan Pajak;
3. pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
4. pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar;
5. keberatan;
6. pembetulan atas Surat Tagihan Pajak, surat ketetapan pajak dan/atau surat
keputusan;
7. banding;
8. gugatan; dan/atau
9. peninjauan kembali,
dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan permohonan dan/atau pengajuan dan belum
diterbitkan surat keputusan atau putusan.
(2) Bagi Wajib Pajak yang bermaksud mengalihkan Harta tambahan ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak
harus:
a. mengalihkan Harta tambahan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui
Bank Persepsi dan menginvestasikan Harta tambahan dimaksud di dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia paling singkat 3 (tiga) tahun:
1. sebelum tanggal 31 Desember 2016, bagi Wajib Pajak yang memilih menggunakan
tarif Uang Tebusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b angka 1
dan angka 2; dan/atau
2. sebelum tanggal 31 Maret 2017, bagi Wajib Pajak yang memilih menggunakan tarif
Uang Tebusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b angka 3; dan
b. melampirkan surat pernyataan mengalihkan dan menginvestasikan Harta tambahan
sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan menggunakan format sesuai contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B Peraturan Menteri ini.
(3) Dalam hal Wajib Pajak yang bermaksud mengalihkan Harta tambahan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), mengalihkan Harta tambahan dari
luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia melalui cabang Bank Persepsi yang berada di luar negeri, jangka waktu 3 (tiga) tahun
dihitung sejak Wajib Pajak menempatkan Harta tambahannya di cabang Bank Persepsi yang berada
di luar negeri dimaksud.
(4) Cabang Bank Persepsi yang berada di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus
mengalihkan Harta tambahan dimaksud ke Bank Persepsi di dalam negeri paling lama pada hari kerja
berikutnya sejak Harta tambahan tersebut ditempatkan di cabang Bank Persepsi yang berada di luar
negeri.
(5) Bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan Harta tambahan yang berada dan/atau ditempatkan di dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Wajib Pajak:
a. tidak dibolehkan mengalihkan Harta tambahan ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia paling singkat 3 (tiga) tahun terhitung sejak diterbitkannya Surat Keterangan; dan
b. harus melampirkan surat pernyataan tidak mengalihkan Harta tambahan yang telah berada
di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ke luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan menggunakan format sesuai
contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C Peraturan Menteri ini.
(6) Surat Pernyataan yang disampaikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dilampiri dengan:
a. bukti pembayaran Uang Tebusan berupa surat setoran pajak atau bukti penerimaan negara;
b. bukti pelunasan Tunggakan Pajak berupa surat setoran pajak atau bukti penerimaan negara
dan/atau surat setoran' bukan pajak beserta daftar rincian Tunggakan Pajak, bagi Wajib Pajak
yang memiliki Tunggakan Pajak;
c. daftar rincian Harta dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam
Lampiran huruf D Peraturan Menteri ini beserta informasi kepemilikan Harta yang dilaporkan;
d. daftar Utang dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam
Lampiran huruf D Peraturan Menteri ini serta dokumen pendukung;
e. bukti pelunasan pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan
berupa:
1. surat setoran pajak; atau
2. bukti penerimaan negara,
bagi Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan
Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dengan disertai informasi tertulis dari Direktur Jenderal
Pajak melalui kepala unit pelaksana pemeriksaan bukti permulaan atau kepala unit pelaksana
penyidikan;
f. fotokopi SPT PPh Terakhir atau salinan berupa cetakan SPT PPh Terakhir yang disampaikan
secara elektronik, bagi Wajib Pajak yang telah memiliki kewajiban menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan
g. surat pernyataan mencabut permohonan dan/atau pengajuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf f, dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam
Lampiran huruf E Peraturan Menteri ini.
(7) Bagi Wajib Pajak yang menggunakan tarif Uang Tebusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat
(3), selain harus melampiri dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dan ayat (6), Wajib
Pajak dimaksud harus menyampaikan surat pernyataan mengenai besaran peredaran usaha dengan
menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F Peraturan Menteri
ini.
(8) Bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan sudah
menyampaikan SPT PPh Terakhir, SPT PPh Terakhir tersebut sebagai pengganti surat pernyataan
mengenai besaran peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
(9) Dalam hal Wajib Pajak memiliki Harta tidak langsung melalui special purpose vehicle (SPV), Wajib Pajak
harus mengungkapkan kepemilikan Harta beserta Utang yang berkaitan secara langsung dengan Harta
dimaksud dalam daftar rincian Harta dan Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c dan
huruf d.
(10) Daftar rincian Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c dan daftar rincian Utang sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) huruf d, harus disampaikan dalam bentuk salinan digital (softcopy) dan formulir
kertas (hardcopy).


Pasal 14

(1) Penyampaian Surat Pernyataan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. disampaikan dengan menggunakan format sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (2);
b. ditandatangani oleh:
1. Wajib Pajak orang pribadi dan tidak dapat dikuasakan;
2. pemimpin tertinggi berdasarkan akta pendirian badan atau dokumen lain yang
dipersamakan, bagi Wajib Pajak badan; atau
3. penerima kuasa, dalam hal pemimpin tertinggi sebagaimana dimaksud pada angka 2
berhalangan.
c. disampaikan secara langsung oleh Wajib Pajak atau penerima kuasa Wajib Pajak ke:
1. KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar; atau
2. tempat tertentu;
d. dilampiri surat kuasa, dalam hal:
1. Surat Pernyataan ditandatangani oleh penerima kuasa sebagaimana dimaksud pada
huruf b angka 3;
2. Wajib Pajak tidak dapat menyampaikan secara langsung Surat Pernyataan
sebagaimana dimaksud pada huruf c; dan
e. disampaikan dalam jangka waktu sejak Undang-Undang Pengampunan Pajak berlaku sampai
dengan tanggal 31 Maret 2017.
(2) Pengertian disampaikan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah Wajib
Pajak datang langsung ke KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar atau tempat tertentu.
(3) Tempat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 meliputi:
a. Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Hongkong;
b. Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura;
c. Kedutaan Besar Republik Indonesia di London; dan
d. tempat tertentu selain sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c yang
ditetapkan oleh Menteri, dalam hal diperlukan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan
Undang-Undang Pengampunan Pajak.
(4) Pengertian surat kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah sesuai ketentuan
sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
(5) Sebelum menyampaikan Surat Pernyataan dan lampirannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (6), Wajib Pajak meminta penjelasan mengenai pengisian dan pemenuhan kelengkapan dokumen
yang harus dilampirkan dalam Surat Pernyataan ke KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar dan tempat
tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Pegawai pada KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar atau pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk
oleh Direktur Jenderal Pajak di tempat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), memastikan
mengenai:
a. kelengkapan pengisian Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2);
b. kelengkapan lampiran Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13;
c. kesesuaian pengisian Surat Pernyataan dengan lampiran Surat Pernyataan;
d. kesesuaian antara Harta yang dilaporkan dengan informasi kepemilikan Harta yang dilaporkan;
e. kesesuaian antara daftar Utang yang dilaporkan dengan dokumen pendukung;
f. kesesuaian antara bukti pelunasan Tunggakan Pajak dengan daftar rincian Tunggakan Pajak
pada administrasi Direktorat Jenderal Pajak;
g. kesesuaian penggunaan tarif Uang Tebusan;
h. penghitungan dan pelunasan Uang Tebusan; dan
i. kesesuaian antara bukti pelunasan utang pajak bagi Wajib Pajak yang sedang dilakukan
pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dengan
informasi tertulis yang diterbitkan oleh kepala unit pelaksana pemeriksaan bukti permulaan
atau kepala unit pelaksana penyidikan.
(7) Setelah meminta penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Wajib Pajak membayar Uang
Tebusan dan menyampaikan Surat Pernyataan beserta lampirannya.
(8) Bagi Wajib Pajak yang telah menyampaikan Surat Pernyataan beserta lampirannya sesuai ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diberikan tanda terima Surat Pernyataan.
(9) Dalam hal Surat Pernyataan:
a. tidak disampaikan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c;
b. tidak dilampiri surat kuasa dalam hal Surat Pernyataan tidak disampaikan secara langsung
oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d; dan/atau
c. tidak lengkap dan sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
Surat Pernyataan dimaksud dianggap tidak disampaikan dan berkas Surat Pernyataan beserta
dokumen-dokumen pendukungnya dikembalikan serta tidak diberikan tanda terima sebagaimana
dimaksud pada ayat (8).
(10) Kepala Kanwil DJP Wajib Pajak Terdaftar menerbitkan Surat Keterangan berdasarkan Surat Pernyataan
yang telah diberikan tanda terima sebagaimana dimaksud pada ayat (8).


BAB VI
        PEMBAYARAN UANG TEBUSAN

Pasal 15

(1) Uang Tebusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b harus dibayar lunas ke kas
negara melalui Bank Persepsi.
(2) Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diadministrasikan sebagai Pajak Penghasilan Non
Migas Lainnya.
(3) Pembayaran Uang Tebusan dilakukan dengan menggunakan Kode Akun Pajak 411129 dan Kode Jenis
Setoran 512.
(4) Pembayaran Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan surat setoran pajak
dan/atau bukti penerimaan negara yang berfungsi sebagai bukti pembayaran Uang Tebusan setelah
mendapatkan validasi.
(5) Surat setoran pajak dan/atau bukti penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
dinyatakan sah dalam hal telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang diterbitkan
melalui modul penerimaan negara.
(6) Dalam hal terjadi kesalahan penulisan Kode Akun Pajak dan/atau Kode Jenis Setoran pada surat
setoran pajak atau bukti penerimaaan negara, Direktur Jenderal Pajak atas permintaan Wajib Pajak
melakukan pemindahbukuan ke Kode Akun Pajak dan Kode Jenis Setoran sebagaimana dimaksud pada
ayat (3).


BAB VII
      PELUNASAN TUNGGAKAN PAJAK

Pasal 16

(1) Tunggakan Pajak yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1)
huruf c merupakan Tunggakan Pajak berdasarkan Surat Tagihan Pajak, surat ketetapan pajak, surat
keputusan, atau putusan, yang diterbitkan sebelum Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan.
(2) Terhadap Tunggakan Pajak yang harus dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. Tunggakan Pajak termasuk biaya penagihan pajak yang timbul sehubungan dengan adanya
tindakan penagihan pajak kepada Wajib Pajak;
b. dalam hal Tunggakan Pajak telah dibayar sebagian, penghitungan besarnya Tunggakan Pajak
dihitung secara proporsional antara besarnya pokok pajak dengan sanksi administrasi
berdasarkan data yang terdapat dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak;
c. dalam hal data yang terdapat dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana
dimaksud pada huruf b tidak memuat secara rinci penghitungan besarnya sanksi administrasi,
besarnya sanksi administrasi dihitung sebesar 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah
yang masih harus dibayar dalam Surat Tagihan Pajak atau surat ketetapan pajak.
(3) Cara penghitungan besarnya Tunggakan Pajak yang dilakukan secara proporsional antara besarnya
pokok pajak dengan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c
adalah sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G Peraturan Menteri ini.


BAB VIII
PELUNASAN PAJAK YANG TIDAK ATAU KURANG DIBAYAR
ATAU YANG TIDAK SEHARUSNYA DIKEMBALIKAN BAGI
WAJIB PAJAK YANG SEDANG DILAKUKAN PEMERIKSAAN
         BUKTI PERMULAAN DAN/ATAU PENYIDIKAN
          TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

Pasal 17

(1) Untuk mengetahui jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau tidak seharusnya dikembalikan
yang harus dilunasi oleh Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau
penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf d,
sebelum menyampaikan Surat Pernyataan Wajib Pajak harus meminta informasi secara tertulis kepada
Direktur Jenderal Pajak melalui kepala unit pelaksana pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan
Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana
tercantum dalam Lampiran huruf H Peraturan Menteri ini.
(2) Kepala unit pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
menugaskan pemeriksa bukti permulaan atau penyidik untuk melakukan penghitungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Untuk melakukan penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1), pemeriksa bukti permulaan atau
penyidik dapat meminta pendapat ahli.
(4) Atas permintaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. untuk penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan tanpa meminta
pendapat ahli, kepala unit pelaksana pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan Tindak
Pidana di Bidang Perpajakan memberikan informasi tertulis mengenai jumlah pajak yang tidak
atau kurang dibayar atau tidak seharusnya dikembalikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja
terhitung sejak permintaan informasi diterima;
b. dalam hal penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan meminta
pendapat ahli, kepala unit pelaksana pemeriksaan bukti permulaan atau penyidikan Tindak
Pidana di Bidang Perpajakan memberikan informasi tertulis mengenai jumlah pajak yang tidak
atau kurang dibayar atau tidak seharusnya dikembalikan paling lama 14 (empat belas) hari
kerja terhitung sejak permintaan informasi diterima.
(5) Pembayaran pajak yang tidak atau kurang dibayar atau tidak seharusnya dikembalikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan menggunakan Kode Akun Pajak 411129 dan Kode Jenis
Setoran 513.
(6) Apabila Wajib Pajak tidak melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau tidak seharusnya
dikembalikan dan tidak menyampaikan Surat Pernyataan, dalam batas waktu paling lama 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak diberikan informasi tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. informasi tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi tidak berlaku;
b. dalam hal Wajib Pajak masih bermaksud menyampaikan Surat Pernyataan, Wajib Pajak harus
meminta ulang informasi secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(7) Dalam hal:
a. Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan dengan kemauan sendiri
telah melakukan pembayaran sebagian atau seluruhnya kekurangan jumlah pajak yang
sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi; atau
b. Wajib Pajak yang sedang dilakukan penyidikan Tindak Pidana Perpajakan dan telah membayar
sebagian atau seluruhnya utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak
seharusnya dikembalikan ditambah dengan sanksi administrasi,
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
1. Dalam hal jumlah yang dibayar oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan/atau
huruf b kurang dari jumlah penghitungan sesuai informasi tertulis dari Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus membayar kekurangan jumlah
pembayaran pajak tersebut;
2. Dalam hal jumlah yang dibayar oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan/atau
huruf b melebihi dari jumlah penghitungan sesuai informasi tertulis dari Direktur Jenderal Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas kelebihan pembayaran dimaksud tidak dikembalikan.


BAB IX
     PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN TAHUNAN
      PAJAK PENGHASILAN TERAKHIR

Pasal 18

(1) Dalam hal Wajib Pajak telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum tahun 2016 dan belum
melaporkan SPT PPh Terakhir setelah berlakunya Undang-Undang Pengampunan Pajak, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. Wajib Pajak wajib melaporkan SPT PPh Terakhir yang mencerminkan Harta yang telah
dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum SPT PPh Terakhir
yang disampaikan sebelum Undang-Undang Pengampunan Pajak berlaku ditambah Harta yang
bersumber dari penghasilan pada Tahun Pajak Terakhir; dan
b. Harta yang dimiliki selain sebagaimana dimaksud pada huruf a, harus diungkapkan sebagai
Harta tambahan dalam Surat Pernyataan.
(2) Bagi Wajib Pajak yang memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak setelah tahun 2015, Wajib Pajak tidak
harus melampirkan fotokopi SPT PPh Terakhir dalam Surat Pernyataan.


BAB X
            PENCABUTAN ATAS PERMOHONAN DAN/ATAU
        PENGAJUAN UPAYA HUKUM

Pasal 19

(1) Dalam rangka Pengampunan Pajak, Wajib Pajak menyampaikan permohonan pencabutan atas
permohonan dan/atau pengajuan upaya hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf
f angka 1, angka 2, angka 3, angka 4, angka 5, dan angka 6, yang meliputi:
a. pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
b. pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dalam surat ketetapan pajak dan/atau
Surat Tagihan Pajak;
c. pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
d. pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar;
e. keberatan; dan/atau
f. pembetulan atas Surat Tagihan Pajak, surat ketetapan pajak dan/atau surat keputusan,
ke Kantor Pelayanan Pajak tempat permohonan dan/atau pengajuan upaya hukum dimaksud
disampaikan, dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran
huruf I dalam Peraturan Menteri ini.
(2) Termasuk dalam pengertian pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a adalah pemindahbukuan atas kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat pembetulan
surat pemberitahuan.
(3) Pengajuan permohonan pencabutan atas pengajuan upaya hukum berupa banding, gugatan, dan/atau
peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf f angka 7, angka 8, dan
angka 9 kepada Pengadilan Pajak, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang peradilan pajak.
(4) Permohonan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) disampaikan oleh Wajib
Pajak sebelum penyampaian Surat Pernyataan.


Pasal 20

(1) Berdasarkan surat pernyataan mencabut permohonan dan/atau pengajuan atas upaya hukum yang
dilampirkan dalam Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) huruf g, Wajib
Pajak dianggap mencabut seluruh permohonan dan/atau pengajuan upaya hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan ayat (3) untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun
Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir.
 (2) Dalam hal Wajib Pajak mencabut permohonan dan/atau pengajuan upaya hukum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Surat Tagihan Pajak, surat ketetapan pajak, surat keputusan, dan putusan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan ayat (3),
mempunyai kekuatan hukum tetap dan pokok pajak yang terutang merupakan Tunggakan Pajak yang
harus dilunasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf c.


BAB XI
 SURAT KETERANGAN

Pasal 21

(1) Atas penyampaian Surat Pernyataan, Kepala Kanwil DJP Wajib Pajak Terdaftar menerbitkan Surat
Keterangan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal tanda
terima Surat Pernyataan, dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran
huruf J dalam Peraturan Menteri ini dan mengirimkannya kepada Wajib Pajak.
(2) Apabila jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, Kepala
Kanwil DJP Wajib Pajak Terdaftar belum menerbitkan Surat Keterangan, Surat Pernyataan yang
disampaikan Wajib Pajak dianggap diterima sebagai Surat Keterangan.
(3) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) berakhir, Kepala Kanwil DJP Wajib Pajak Terdaftar menerbitkan Surat Keterangan.
(4) Dalam hal terdapat:
a. kesalahan tulis dalam Surat Keterangan; dan/atau
b. kesalahan hitung dalam Surat Keterangan,
Kepala Kanwil DJP Wajib Pajak Terdaftar dapat menerbitkan surat pembetulan atas Surat Keterangan.


BAB XII
   PENYAMPAIAN SURAT PERNYATAAN KEDUA DAN KETIGA

Pasal 22

(1) Setiap Surat Pernyataan yang disampaikan oleh Wajib Pajak dan telah memperoleh tanda terima Surat
Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (10), dihitung sebagai 1 (satu) kali
penyampaian Surat Pernyataan.
(2) Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pernyataan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu
terhitung sejak Undang-Undang Pengampunan Pajak berlaku sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
(3) Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan kedua atau ketiga dalam periode sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Surat Pernyataan tersebut dapat disampaikan sebelum atau setelah Surat
Keterangan atas Surat Pernyataan yang pertama atau kedua yang sebelumnya diterbitkan.
(4) Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dengan ketentuan bahwa Wajib
Pajak harus memasukkan nilai Harta bersih yang tercantum dalam:
a. Surat Keterangan atas Surat Pernyataan yang sebelumnya; atau
b. Surat Pernyataan yang sebelumnya dalam hal belum diterbitkan Surat Keterangan.
(5) Penyampaian Surat Pernyataan kedua atau ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan
untuk memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak, antara lain:
a. mengungkapkan penambahan Harta yang belum disampaikan dalam Surat Pernyataan atau
pengurangan Harta yang telah disampaikan dalam Surat Pernyataan;
b. mengungkapkan perubahan perhitungan Uang Tebusan, dalam hal Wajib Pajak melakukan
perubahan dari yang semula menyatakan mengalihkan dan menginvestasikan Harta ke dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi tidak mengalihkan dan menginvestasikan
Harta ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu yang
ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a;
c. mengungkapkan perubahan perhitungan Uang Tebusan, dalam hal Wajib Pajak melakukan
perubahan dari yang semula menyatakan tidak akan mengalihkan Harta ke luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia menjadi mengalihkan Harta ke luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (5) huruf a.
(6) Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan kedua atau ketiga yang mengungkapkan
perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, terhadap penghitungan besarnya Uang
Tebusan berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. untuk Surat Pernyataan kedua atau ketiga yang mengakibatkan penambahan Harta yang
diungkapkan, Uang Tebusan dihitung berdasarkan:
1. selisih antara nilai Harta bersih dalam Surat Pernyataan kedua atau ketiga dengan
Surat Keterangan atas Surat Pernyataan yang sebelumnya; atau
2. selisih antara nilai Harta bersih dalam Surat Pernyataan kedua atau ketiga dengan
Surat Pernyataan sebelumnya apabila Surat Keterangan belum diterbitkan,
dikalikan dengan tarif pada periode penyampaian Surat Pernyataan kedua atau ketiga;
b. untuk Surat Pernyataan kedua atau ketiga yang mengakibatkan pengurangan Harta yang
diungkapkan sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran Uang Tebusan maka
pengembalian Uang Tebusan dihitung berdasarkan tarif yang digunakan pada periode Surat
Pernyataan sebelumnya.
(7) Cara penghitungan besarnya Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) adalah sesuai contoh
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K Peraturan Menteri ini.
(8) Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan kedua atau ketiga yang mengungkapkan
perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dan huruf c, tarif Uang Tebusan yang semula
menggunakan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) menjadi menggunakan tarif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2).


BAB XIII
     FASILITAS PENGAMPUNAN PAJAK

Pasal 23

(1) Wajib Pajak yang telah diterbitkan Surat Keterangan memperoleh fasilitas Pengampunan Pajak berupa:
a. penghapusan pajak terutang yang belum diterbitkan ketetapan pajak, tidak dikenai sanksi
administrasi perpajakan, dan tidak dikenai sanksi pidana di bidang perpajakan, untuk
kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai
dengan akhir Tahun Pajak Terakhir;
b. penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga, atau denda, untuk kewajiban
perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir
Tahun Pajak Terakhir;
c. tidak dilakukan pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak
Pidana di Bidang Perpajakan, atas kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun
Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; dan
d. penghentian pemeriksaan pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana
di Bidang Perpajakan, dalam hal Wajib Pajak sedang dilakukan pemeriksaan pajak,
pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan atas
kewajiban perpajakan, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir,
yang berkaitan dengan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3).
(2) Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh pejabat penyidik
pegawai negeri sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak atas perintah kepala unit penyidikan.


Pasal 24

(1) Wajib Pajak yang telah memperoleh Surat Keterangan dan membayar Uang Tebusan atas Harta tidak
bergerak berupa tanah dan/atau bangunan yang belum dibaliknamakan atas nama Wajib Pajak, harus
melakukan pengalihan hak menjadi atas nama Wajib Pajak.
(2) Atas pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari pengenaan Pajak
Penghasilan, dalam hal:
a. permohonan pengalihan hak; atau
b. penandatanganan surat pernyataan oleh kedua belah pihak di hadapan notaris yang
menyatakan bahwa Harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah benar milik Wajib Pajak
yang menyampaikan Surat Pernyataan, dalam hal Harta tersebut belum dapat diajukan
permohonan pengalihan hak,
  dilakukan dalam jangka waktu paling lambat sampai dengan tanggal 31 Desember 2017.
(3) Harta tidak bergerak berupa tanah dan/atau bangunan yang dapat dibaliknamakan dan dibebaskan
dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Harta tambahan yang
telah diperoleh dan/atau dimiliki Wajib Pajak sebelum Akhir Tahun Pajak Terakhir.
(4) Pajak Penghasilan yang terutang atas pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebaskan
dengan terlebih dahulu memperoleh surat keterangan bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari
pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diberikan fasilitas Pengampunan Pajak.
(5) Permohonan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan
oleh Wajib Pajak yang memperoleh Surat Keterangan ke KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar sebelum
dilakukan pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan melampirkan:
a. fotokopi Surat Keterangan;
b. fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan tahun terakhir atas
Harta yang dibaliknamakan;
c. fotokopi akte jual/beli/hibah atas Harta yang di baliknamakan; dan
d. surat pernyataan kepemilikan Harta yang dibaliknamakan yang telah dilegalisasi oleh notaris.
(6) Surat keterangan bebas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berisi pembebasan
Pajak Penghasilan yang terutang bagi pihak yang mengalihkan Harta tidak bergerak berupa tanah
dan/atau bangunan dan berlaku sepanjang digunakan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada
ayat (2).


Pasal 25

(1) Wajib Pajak yang telah memperoleh Surat Keterangan dan membayar Uang Tebusan atas Harta
berupa saham yang belum dibaliknamakan atas nama Wajib Pajak, harus melakukan pengalihan hak
menjadi atas nama Wajib Pajak.
(2) Pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan
dalam hal terdapat perjanjian pengalihan hak dalam jangka waktu paling lambat sampai dengan
tanggal 31 Desember 2017.
(3) Harta berupa saham yang dapat dibaliknamakan dan dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Harta tambahan yang telah diperoleh dan/atau dimiliki
Wajib Pajak sebelum akhir Akhir Tahun Pajak Terakhir dan belum pernah dilaporkan dalam Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sampai dengan SPT PPh Terakhir.
(4) Untuk dibebaskan dari pengenaan Pajak Penghasilan yang terutang atas pengalihan hak sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak harus mengajukan permohonan surat keterangan bebas Pajak
Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan saham yang diberikan fasilitas Pengampunan Pajak.
(5) Permohonan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan
oleh Wajib Pajak yang memperoleh Surat Keterangan ke Kantor Pelayanan Pajak dengan
melampirkan:
a. fotokopi Surat Keterangan;
b. fotokopi akta pendirian dan akta perubahan dari perusahaan yang dialihkan sahamnya; dan
c. surat pernyataan kepemilikan harta yang telah dilegalisasi oleh notaris.
(6) Surat keterangan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berisi pembebasan Pajak Penghasilan
yang terutang bagi pihak yang mengalihkan Harta berupa saham dan berlaku sepanjang digunakan
dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2).


Pasal 26

(1) Atas permohonan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24
ayat (5) dan Pasal 25 ayat (5), dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak
permohonan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan diterima lengkap, Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan atau pengalihan saham yang diberikan fasilitas Pengampunan Pajak.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak tidak
menerbitkan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan, permohonan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (5) dan Pasal 25 ayat (5) dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak harus
menerbitkan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak
berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila sampai dengan tanggal 31 Desember 2017, Wajib Pajak tidak mengalihkan hak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan Pasal 25 ayat (1), atas pengalihan hak yang dilakukan dikenai
pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak
Penghasilan.


BAB XIV
PERLAKUAN ATAS PENERBITAN SURAT KETETAPAN PAJAK,
  SURAT KEPUTUSAN, DAN PUTUSAN UNTUK MASA PAJAK,
 BAGIAN TAHUN PAJAK, DAN TAHUN PAJAK
  SEBELUM AKHIR TAHUN PAJAK TERAKHIR

Pasal 27

(1) Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak,
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, Putusan Gugatan, Putusan
Peninjauan Kembali, untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak sebelum akhir Tahun
Pajak Terakhir, yang terbit sebelum Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan dan belum dilunasi,
tetap dijadikan dasar bagi:
a. Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan penagihan pajak dan/atau pengembalian kelebihan
pembayaran pajak;
b. Wajib Pajak untuk mengompensasikan kerugian fiskal; dan
c. Wajib Pajak untuk mengompensasikan kelebihan pembayaran pajak,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak,
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, Putusan Gugatan, Putusan
Peninjauan Kembali, untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak sebelum akhir Tahun
Pajak Terakhir, yang terbit setelah Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan, tidak dapat dijadikan
dasar bagi:
a. Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan penagihan pajak dan/atau pengembalian
kelebihan pembayaran pajak;
b. Wajib Pajak untuk mengompensasikan kerugian fiskal; dan
c. Wajib Pajak untuk mengompensasikan kelebihan pembayaran pajak.
(3) Dalam hal terdapat Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan
Pembayaran Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak,
Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi,
Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding,
Putusan Peninjauan Kembali, untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak sebelum akhir
Tahun Pajak Terakhir, yang terbit sebelum Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan yang
mengakibatkan timbulnya kewajiban pembayaran imbalan bunga bagi Direktorat Jenderal Pajak, atas
kewajiban dimaksud menjadi hapus.


Pasal 28

(1) Dalam rangka Pengampunan Pajak, Direktur Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak secara jabatan membatalkan Surat Tagihan Pajak,
surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak,
Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan
Pembatalan Ketetapan Pajak, dan Surat Keputusan Keberatan.
(2) Surat Tagihan Pajak, surat ketetapan pajak, dan surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
merupakan Surat Tagihan Pajak, surat ketetapan pajak, dan surat keputusan untuk masa pajak,
bagian Tahun Pajak dan Tahun Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang terbit setelah
Wajib Pajak menyampaikan Surat Pernyataan.
(3) Pembatalan Surat Tagihan Pajak, surat ketetapan pajak, dan surat keputusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilakukan setelah Wajib Pajak memperoleh Surat Keterangan.
(4) Pembatalan Surat Tagihan Pajak, surat ketetapan pajak, dan surat keputusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur
Jenderal Pajak, yang:
a. menerbitkan surat keputusan; atau
b. wilayah kerjanya meliputi Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan Surat Tagihan Pajak,
surat ketetapan pajak dan surat keputusan.


Pasal 29

(1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pelaksanaan atas Putusan Banding, Putusan Gugatan,
dan/atau Putusan Peninjauan Kembali yang terkait dengan hak dan kewajiban perpajakan untuk masa
pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak sebelum akhir Tahun Pajak Terakhir yang diterima oleh
Wajib Pajak setelah memperoleh Surat Keterangan.
(2) Dalam surat pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan bahwa putusan dimaksud
tidak dapat dijadikan dasar untuk:
a. penagihan pajak dan/atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
b. pengompensasian kerugian fiskal; dan/atau
c. pengompensasian kelebihan pembayaran pajak.


Pasal 30

Terhadap Wajib Pajak yang telah diterbitkan Surat Keterangan, Direktur Jenderal Pajak tidak mengajukan
permohonan peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang berkaitan dengan kewajiban perpajakan untuk
masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir.


BAB XV
    PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI PERPAJAKAN

Pasal 31

(1) Direktur Jenderal Pajak atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur
Jenderal Pajak secara jabatan menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda yang
belum dilunasi yang terdapat pada:
a. Surat Tagihan Pajak;
b. surat ketetapan pajak;
c. surat keputusan, dan/atau
d. putusan,
untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak sebelum akhir Tahun Pajak Terakhir dalam
rangka pelaksanaan Pengampunan Pajak.
(2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sanksi administrasi berupa bunga,
denda, dan kenaikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan.
(3) Penghapusan atas sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah Wajib
Pajak memperoleh Surat Keterangan.
(4) Penghapusan atas sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Kepala
Kantor Wilayah yang wilayah kerjanya meliputi kantor pelayanan pajak yang mengadministrasikan
penghapusan sanksi administrasi.
(5) Kepala Kantor Wilayah menerbitkan Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi Secara Jabatan
Dalam Rangka Pengampunan Pajak.
(6) Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi Secara Jabatan Dalam Rangka Pengampunan Pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diterbitkan untuk satu atau lebih produk hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(7) Dalam hal Surat Keterangan telah diterbitkan dan Surat Tagihan Pajak atas sanksi administrasi belum
diterbitkan, atas sanksi administrasi tersebut dihapuskan dengan tidak dilakukan penerbitan Surat
Tagihan Pajak.


BAB XVI
       PENANGGUHAN, PENGHENTIAN, PEMBATALAN
    PEMERIKSAAN, PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN,
    DAN PENYIDIKAN

Pasal 32

(1) Dalam hal Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan telah memperoleh tanda terima Surat
Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8) tindakan pemeriksaan untuk masa pajak,
bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, ditangguhkan.
(2) Penangguhan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak tanggal diterimanya
Surat Pernyataan sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keterangan.
(3) Apabila Wajib Pajak memperoleh Surat Keterangan, tindakan pemeriksaan dihentikan terhitung sejak
tanggal diterbitkannya Surat Keterangan.
(4) Penghentian pemeriksaan dilakukan dengan membuat laporan penghentian pemeriksaan dalam rangka
Pengampunan Pajak.


Pasal 33

(1) Dalam hal Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan telah memperoleh tanda
terima Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8), tindakan pemeriksaan bukti
permulaan untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak
Terakhir, ditangguhkan.
(2) Penangguhan pemeriksaan bukti permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dimulai sejak tanggal
diterimanya Surat Pernyataan sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keterangan.
(3) Berdasarkan Surat Keterangan, pemeriksaan bukti permulaan dihentikan dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. Kepala Kanwil Wajib Pajak Terdaftar mengirimkan secara elektronik salinan Surat Keterangan
kepada kepala unit pemeriksaan bukti permulaan;
b. berdasarkan Surat Keterangan, kepala unit pemeriksaan bukti permulaan memerintahkan tim
pemeriksa bukti permulaan untuk melakukan penelaahan;
c. penelaahan sebagaimana dimaksud pada huruf b harus dihadiri oleh tim pemeriksa bukti
permulaan dan tim penelaah;
d. setelah melakukan penelaahan sebagaimana dimaksud pada huruf b, kepala unit pemeriksa
bukti permulaan menerbitkan Surat Pemberitahuan Tindak Lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan.
e. Kepala unit pemeriksaan bukti permulaan menerbitkan surat penghentian pemeriksaan bukti
permulaan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja setelah diterbitkannya Surat
Keterangan.


Pasal 34

(1) Dalam hal Wajib Pajak yang sedang dilakukan penyidikan telah memperoleh tanda terima Surat
Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (8), tindakan penyidikan untuk masa pajak,
bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, ditangguhkan.
(2) Penangguhan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak tanggal diterimanya Surat
Pernyataan sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keterangan.
(3) Berdasarkan Surat Keterangan, penyidikan dihentikan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Kepala Kanwil Tempat Wajib Pajak Terdaftar mengirimkan secara elektronik salinan Surat
Keterangan kepada kepala unit penyidikan;
b. berdasarkan Surat Keterangan, kepala unit penyidikan memerintahkan tim penyidik untuk
melakukan gelar perkara;
c. gelar perkara sebagaimana dimaksud pada huruf b harus dihadiri oleh tim penyidik dan tim
penelaah;
d. setelah melakukan gelar perkara sebagaimana dimaksud pada huruf b, kepala unit penyidikan
menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan;
e. berdasarkan surat perintah penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada huruf d, tim
penyidik menerbitkan surat ketetapan penghentian penyidikan; dan
f. surat ketetapan penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada huruf e, disampaikan
kepada tersangka atau keluarganya, penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia,
dan penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.


BAB XVII
PERLAKUAN ATAS KOMPENSASI KERUGIAN,
          KOMPENSASI KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK,
        PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK,
 DAN PEMBETULAN SURAT PEMBERITAHUAN
         TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN

Pasal 35

(1) Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan tidak berhak:
a. mengompensasikan kerugian fiskal dalam surat pemberitahuan atas jenis pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a untuk bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, sampai
dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, ke bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak berikutnya;
b. mengompensasikan kelebihan pembayaran pajak dalam surat pemberitahuan atas jenis pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) untuk masa pajak pada akhir Tahun Pajak
Terakhir, ke masa pajak berikutnya;
c. mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dalam surat pemberitahuan
atas jenis pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) untuk masa pajak, bagian Tahun
Pajak, atau Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir; dan
d. melakukan pembetulan surat pemberitahuan atas jenis pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3) untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sampai dengan
akhir Tahun Pajak Terakhir, setelah Undang-Undang Pengampunan Pajak berlaku.
(2) Dalam hal Wajib Pajak yang menyampaikan Surat Pernyataan menyampaikan pembetulan surat
pemberitahuan untuk masa pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun
Pajak Terakhir setelah Undang-Undang Pengampunan Pajak berlaku, pembetulan surat pemberitahuan
tersebut dianggap tidak disampaikan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak telah mengompensasikan kerugian fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk tahun pajak setelah Tahun Pajak
Terakhir, atas Surat Pemberitahuan tersebut wajib dilakukan pembetulan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak telah mengompensasikan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b pada Surat Pemberitahuan untuk masa pajak setelah akhir Tahun Pajak Terakhir,
atas Surat Pemberitahuan tersebut wajib dilakukan pembetulan.
(5) Terhadap sanksi administrasi yang timbul akibat adanya pembetulan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menghapuskan sanksi administrasi dengan tidak
menerbitkan Surat Tagihan Pajak.


         BAB XVIII
     BENTUK INVESTASI ATAS HARTA YANG DIALIHKAN
     DARI LUAR WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK
    INDONESIA KE DALAM WILAYAH NEGARA KESATUAN
REPUBLIK INDONESIA

Pasal 36

Investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dilakukan dalam bentuk:
a. surat berharga Negara Republik Indonesia;
b. obligasi Badan Usaha Milik Negara;
c. obligasi lembaga pembiayaan yang dimiliki oleh Pemerintah;
d. investasi keuangan pada Bank Persepsi;
e. obligasi perusahaan swasta yang perdagangannya diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
f. investasi infrastruktur melalui kerja sama Pemerintah dengan badan usaha;
g. investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh Pemerintah; dan/atau
h. bentuk investasi lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB XIX
        PENETAPAN BANK PERSEPSI

Pasal 37

Menteri menetapkan Bank Persepsi yang menerima:
a. pembayaran Uang Tebusan;
b. pengalihan Harta berupa dana dari luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


BAB XX
 TATA CARA PELAPORAN HARTA YANG BERADA DI DALAM
WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA ATAU
HARTA YANG DIALIHKAN DAN DIINVESTASIKAN KE DALAM
     WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

Pasal 38

(1) Wajib Pajak yang telah menggunakan tarif Uang Tebusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
ayat (1) harus menyampaikan laporan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP Tempat Wajib
Pajak Terdaftar yang memuat:
a. realisasi pengalihan dan investasi Harta tambahan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan; dan/atau
b. penempatan Harta tambahan yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan.
(2) Laporan pengalihan dan realisasi investasi Harta tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a disampaikan secara berkala dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Laporan disampaikan secara berkala setiap 6 (enam) bulan selama 3 (tiga) tahun sejak
pengalihan Harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2);
b. Laporan disampaikan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah periode berakhir, yaitu:
1. tanggal 20 Januari untuk periode laporan realisasi investasi Juli sampai dengan
Desember; dan
2. tanggal 20 Juli untuk periode laporan realisasi investasi Januari sampai dengan Juni;
dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf L
Peraturan Menteri ini.
(3) Laporan penempatan Harta tambahan yang berada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan secara berkala dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Laporan disampaikan secara berkala setiap 6 (enam) bulan selama 3 (tiga) tahun sejak
diterbitkan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5);
b. Laporan disampaikan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah periode berakhir, yaitu:
1. tanggal 20 Januari untuk periode laporan realisasi investasi Juli sampai dengan
Desember; dan
2. tanggal 20 Juli untuk periode laporan realisasi investasi Januari sampai dengan Juni,
dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran
huruf M Peraturan Menteri ini.
(4) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan oleh Wajib Pajak
atau kuasa yang ditunjuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Pasal 39

(1) Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar dapat menerbitkan dan
mengirimkan surat peringatan paling cepat 1 (satu) bulan setelah batas akhir periode penyampaian
Surat Pernyataan dalam hal:
a. Wajib Pajak yang menyatakan mengalihkan dan menginvestasikan Harta ke dalam wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia tetapi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a; dan/atau
b. Wajib Pajak yang menyatakan tidak mengalihkan Harta ke luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia tetapi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (5) huruf a.
(2) Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP Tempat Wajib Pajak Terdaftar dapat menerbitkan surat
peringatan dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
ayat (2) dan/atau ayat (3) sampai dengan batas akhir penyampaian laporan dimaksud.


Pasal 40

(1) Wajib Pajak harus menyampaikan:
a. tanggapan atas surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1);
b. laporan sehubungan dengan penerbitan surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
39 ayat (2);
dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal surat peringatan
dikirim.
(2) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
atau menyampaikan tanggapan namun diketahui bahwa Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan/atau Pasal 13 ayat (5) huruf a, berlaku
ketentuan sebagai berikut:
a. terhadap Harta bersih tambahan yang tercantum dalam Surat Keterangan diperlakukan sebagai
penghasilan pada Tahun Pajak 2016 dan atas penghasilan dimaksud dikenai Pajak Penghasilan
dengan tarif sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan dan sanksi
administrasi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan; dan
b. Uang Tebusan yang telah dibayar oleh Wajib Pajak diperhitungkan sebagai pengurang pajak
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
(3) Wajib Pajak yang tidak menyampaikan laporan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam surat
peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dianggap tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a dan/atau Pasal 13 ayat (5) huruf a, dan terhadap
Wajib Pajak dimaksud berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. terhadap Harta bersih tambahan yang tercantum dalam Surat Keterangan diperlakukan sebagai
penghasilan pada Tahun Pajak 2016 dan atas penghasilan dimaksud dikenai Pajak Penghasilan
dengan tarif sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan dan sanksi
administrasi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan; dan
b. Uang Tebusan yang telah dibayar oleh Wajib Pajak diperhitungkan sebagai pengurang pajak
sebagaimana dimaksud pada huruf a.
(4) Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3), Direktur Jenderal Pajak
menetapkan Pajak Penghasilan ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen)
per bulan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak tanggal 1 Januari 2017 sampai dengan
diterbitkannya surat ketetapan pajak.
(5) Pembayaran Pajak Penghasilan dan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan
dengan menggunakan Kode Akun Pajak 411129 dan Kode Jenis Setoran 514.


          BAB XXI
        KELEBIHAN DAN KEKURANGAN PEMBAYARAN
     UANG TEBUSAN

Pasal 41

(1) Dalam hal terdapat kelebihan pembayaran Uang Tebusan yang disebabkan oleh:
a. diterbitkannya surat pembetulan karena kesalahan hitung sebagaimana dimaksud dalam Pasal
21 ayat (4) huruf b; atau
b. disampaikannya Surat Pernyataan kedua atau ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (3),
atas kelebihan pembayaran dimaksud harus dikembalikan dan/atau diperhitungkan dengan kewajiban
perpajakan lainnya, dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterbitkannya surat
pembetulan atau disampaikannya Surat Pernyataan kedua atau ketiga dimaksud sampai dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
(2) Terhadap kelebihan pembayaran Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur
Jenderal Pajak meneliti secara jabatan terhadap kebenaran kelebihan pembayaran Uang Tebusan
tersebut.
(3) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak
mengembalikan kelebihan pembayaran Uang Tebusan dalam hal:
a. Uang Tebusan yang seharusnya tidak terutang telah dibayar ke kas negara;
b. Uang Tebusan yang seharusnya tidak terutang telah dibayar sebagaimana dimaksud pada
huruf a tidak diperhitungkan dalam Surat Pernyataan berikutnya; dan
c. Uang Tebusan yang seharusnya tidak terutang telah dibayar sebagaimana dimaksud pada
huruf a tidak diperhitungkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
(4) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam laporan hasil penelitian.
(5) Terhadap laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang terdapat kelebihan
pembayaran Uang Tebusan yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak
diterbitkannya surat pembetulan atau disampaikannya Surat Pernyataan kedua atau ketiga dimaksud.
(6) Pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung
sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang perpajakan yang mengatur mengenai tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak.


Pasal 42

(1) Dalam hal ditemukan adanya kesalahan hitung dalam Surat Keterangan yang mengakibatkan
kekurangan pembayaran Uang Tebusan, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat klarifikasi
kepada Wajib Pajak untuk melunasi kekurangan pembayaran Uang Tebusan dimaksud dalam jangka
waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak surat klarifikasi diterbitkan.
(2) Dalam hal sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir Wajib Pajak
tidak melunasi kekurangan pembayaran Uang Tebusan, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat
pembetulan atas Surat Keterangan yang berisi penyesuaian nilai Harta.


BAB XXII
          PERLAKUAN ATAS HARTA YANG BELUM ATAU
       KURANG DIUNGKAP DALAM SURAT PERNYATAAN

Pasal 43

(1) Dalam hal Wajib Pajak telah memperoleh Surat Keterangan kemudian ditemukan adanya data dan/atau
informasi mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, atas Harta
dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat
ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud.
(2) Termasuk dalam pengertian Harta yang belum atau kurang diungkapkan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yaitu:
a. Harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b yang tidak diungkapkan dalam
Surat Pernyataan sampai dengan tanggal 31 Maret 2017.
b. penyesuaian nilai Harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2).
(3) Dalam hal terdapat tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar.
(4) Terhadap surat ketetapan pajak kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. diterbitkan untuk masa pajak saat ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta
yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan;
b. surat ketetapan pajak kurang bayar mencantumkan jumlah Pajak Penghasilan yang tidak atau
kurang dibayar, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar;
c. Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada huruf b dihitung
menggunakan tarif sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang Pajak Penghasilan; dan
d. atas Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada huruf c
dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen).
(5) Pembayaran jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam surat ketetapan pajak kurang bayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan menggunakan Kode Akun Pajak 411129 dan
Kode Jenis Setoran 515.


Pasal 44

(1) Terhadap Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pernyataan sampai dengan periode
Pengampunan Pajak berakhir, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal Direktur Jenderal Pajak menemukan data dan/atau informasi mengenai Harta Wajib
Pajak yang diperoleh sejak tanggal 1 Januari 1985 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015
dan belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, atas Harta
dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud;
b. data dan/atau informasi mengenai Harta Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a
ditemukan paling lama dalam jangka 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang
Pengampunan Pajak mulai berlaku.
(2) Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai pajak dan sanksi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan Direktur Jenderal Pajak
menerbitkan surat ketetapan pajak kurang bayar.
(3) Terhadap surat ketetapan pajak kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. diterbitkan untuk masa pajak ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta yang
belum atau kurang dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir;
b. dalam surat ketetapan pajak kurang bayar tercantum jumlah Pajak Penghasilan yang tidak atau
kurang dibayar, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar;
c. Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada huruf b dihitung
menggunakan tarif sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang Pajak Penghasilan; dan
d. atas Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud pada huruf c
dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan paling lama 24
(dua puluh empat) bulan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang dihitung  sejak saat ditemukannya data
dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir
sampai dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak kurang bayar.
(4) Pembayaran jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam surat ketetapan pajak kurang bayar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menggunakan Kode Akun Pajak 411129 dan
Kode Jenis Setoran 516.


         BAB XXIII
        KEWAJIBAN MENYELENGGARAKAN PEMBUKUAN,
  PERLAKUAN ATAS PENYUSUTAN HARTA

Pasal 45

(1) Bagi Wajib Pajak yang mengikuti Pengampunan Pajak dan diwajibkan menyelenggarakan pembukuan
menurut ketentuan Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, harus
membukukan selisih antara nilai Harta bersih yang disampaikan dalam Surat Pernyataan dikurangi
dengan nilai Harta bersih yang telah dilaporkan oleh Wajib Pajak dalam SPT PPh Terakhir, sebagai
tambahan atas saldo laba ditahan dalam neraca.
(2) Harta tambahan yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan berupa aktiva tidak berwujud, tidak dapat
diamortisasi untuk tujuan perpajakan.
(3) Harta tambahan yang diungkapkan dalam Surat Pernyataan berupa aktiva berwujud, tidak dapat
disusutkan untuk tujuan perpajakan.


         BAB XXIV
      UPAYA HUKUM

Pasal 46

(1) Segala sengketa yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Pengampunan Pajak hanya dapat
diselesaikan melalui pengajuan gugatan.
(2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan pada badan peradilan pajak.


BAB XXV
                                                     MANAJEMEN DATA DAN INFORMASI

Pasal 47

Data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh
Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Pengampunan Pajak
tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak.


Pasal 48

(1) Menteri menyelenggarakan Manajemen Data dan Informasi dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang
Pengampunan Pajak.
(2) Menteri memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam rangka melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan
pelaksanaan Pengampunan Pajak, dilarang membocorkan, menyebarluaskan, dan/atau memberitahukan
data dan informasi yang diketahui atau diberitahukan oleh Wajib Pajak kepada pihak lain.
(4) Data dan informasi yang disampaikan Wajib Pajak dalam rangka Pengampunan Pajak tidak dapat
diminta oleh siapapun atau diberikan kepada pihak manapun berdasarkan peraturan
perundang-undangan lain, kecuali atas persetujuan Wajib Pajak sendiri.
(5) Data dan informasi yang disampaikan Wajib Pajak digunakan sebagai basis data perpajakan Direktorat
Jenderal Pajak.


Pasal 49

Menteri, Wakil Menteri, pegawai Kementerian Keuangan, dan pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan
Pengampunan Pajak tidak dapat dilaporkan, digugat, dilakukan penyelidikan, penyidikan, atau dituntut baik
secara perdata maupun pidana apabila dalam melaksanakan tugas didasarkan pada itikad baik dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ini.


Pasal 50

(1) Lampiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 13 ayat (2) huruf b, ayat (5) huruf b,
ayat (6) huruf c, huruf d, huruf g, huruf h, Pasal 16 ayat (3), Pasal 17 ayat (1), Pasal 19 ayat (1),
Pasal 21 ayat (1), Pasal 22 ayat (7), dan Pasal 38 ayat (2) huruf b, serta ayat (3) huruf b, merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) Pedoman teknis yang diperlukan dalam rangka pengisian dokumen-dokumen dalam rangka
Pengampunan Pajak yang tercantum dalam Lampiran sebagaimana dmaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Direktur Jenderal Pajak


           BAB XXVI
           PENUTUP

Pasal 51

Peraturan Menteri mi mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya
dalam Berita Negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 15 Juli 2016
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG P. S. BRODJONEGORO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Juli 2016
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

WIDODO EKATJAHJANA